Kamu...
Selasa, 04 November 2014
Kamu adalah bentuk segala
kesederhanaan yang aku punya.
Sangat cukup untuk membuatku terus
bahagia,
Sangat cukup untuk terus buatku
tersenyum.
Kamu bukan bulan, matahari,
bintang, atau pun pangeran berkuda putih.
Kamu bukan segala hal luar biasa.
Kamu adalah kamu.
Yang entah dengan alasan apa, mampu
terus buatku mengingatmu dan memikirkanmu.
Kamu adalah kamu.
Kemurnian yang dibingkiskan Tuhan.
Kamu adalah kamu.
Yang terus bisa membuatku
mencintaimu dengan sederhana.
Kamu adalah kamu.
Kesederhanan yang aku damba.
Bonusnya, aku mendapat hal yang
luar biasa.
Diposting oleh Yully Aswita di 11.59 0 komentar
Hanya Ingin
Aku hanya ingin terus berdialog denganmu,
Lewat kata yang saling kita ucap, atau lewat kata
yang yang menggantung dalam benak.
Aku hanya ingin terus berdiskusi denganmu,
Tentang batang ubi, air seni, tahu isi, kopi. Segala
remeh temeh sampai sebuah inti.
Aku hanya ingin terus bersamamu,
Menghabiskan waktu dengan segala cara yang kita
punya.
Aku melihatku di dalammu.
Dan menemukanmu di dalamku.
Aku … terlengkapi.
Diposting oleh Yully Aswita di 11.57 0 komentar
Selagi Kau Lelap
Rabu, 08 Oktober 2014
Selagi Kau Lelap
Dee Lestari
Sekarang pukul 01.30
pagi di tempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung
bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur
terlungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai,
apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal?
Aku selalu ingin
mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin
masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.
Sudah hampir tiga tahun
aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh
empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya
kau akan dapatkan angka ini: 4.354.560.000
Itulah angka milisekon
sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau
ditarik sampai skala nano. Silahkan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada
di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi…
Penunjuk waktuku tak
perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus
moralitas. Rolex tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan
ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang
menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi
adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu
merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.
Sekarang pukul 02.30 di
tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku di sini. Menyumbang lagi 216.000
milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan
bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di belakangnya. Tapi
engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di
tengah-tengah. Sensasi Ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.
Aku tak pernah terlalu
tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada di situ. Entah siapa. Mungkin
Cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru
mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing
dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling… sudah. Stop.
Aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkannya saja ngeri. Apa rasanya dipeluk
dan didekap tanpa pretensi? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah
jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagai mengitari Gunung Sinai. Tak
diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai Tanah
Perjanjian.
Kini, izinkan aku
tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau
ada di sana, tidak terbangung karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.
Begitu banyak yang
ingin ku bicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir,
adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang… tak ada
yang tak bisa kita lakukan, bukan? Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin
mimpi tidur disebelahmu. Ada tanganku dibawah bantal, tempat jemarimu
menggapai-gapai.
Tidurku meringkuk di
sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku di sana. Rambutku yang
berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.
Tiada yang lebih indah
dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi
bermentega, dan mulut asam… mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa ‘selamat
pagi’.
Diposting oleh Yully Aswita di 22.33 0 komentar
Bukan Pecundang
Selasa, 26 Agustus 2014
Aku percaya kamu bukan pecundang.
Yang menyerah hanya karena lelah, yang
pasrah hanya karena lemah. Aku percaya kamu bukan pecundang, yang beraninya
datang lalu menghilang. Aku percaya kamu bukan pecundang.
Aku percaya kamu bukan pecundang.
Aku tidak menuntutmu untuk lari, aku tidak
menuntutmu untuk jalan, aku hanya memintamu untuk bergerak, centi demi
centi menuju apapun yang lebih baik.
Kamu kelelahan? Lelahmu tak sendirian,
ada doaku yang bisa kau jadikan teman.
Sekali lagi, aku percaya kamu bukan
pecundang :’)
Diposting oleh Yully Aswita di 21.40 0 komentar
Surat untuk Dosen Pembimbing Akademik
Senin, 24 Februari 2014
Assalamualikum Wr.Wb
Dalam malam yang semakin pekat. Hawa panas
yang kian menyengat, nging-nging nyamuk yang berdenging, dan kuasa waktu yang
tak pernah membeku.
Tik…tok..tik…tok…
Tik..tok…tik…tok…
Berminggu-minggu telah berlalu dan libur
panjang segera menemui akhir. Dan, saya tidak lupa kado yang Ibu pinta, surat
cinta. Dalam kesederhanaan yang saya punya,
saya coba menuliskannya. Menghadiahi Ibu dengan kejujuran kata, bukan puja-puji
yang kadang kala berakhir dengan lupa diri. Astaghfirullah hal’adzim.
Tik..tok..
Saya pun mencoba mengunjungi masalalu,
menemui kenangan kita pertama kali bertemu.
Mata kuliah Persamaan Differensial, oleh
Dosen Ibu Mardiati S.si. Tersirat penasaran dan kelegaan tersendiri karena pada
akhirnya, setelah 4 semester berlalu, akhirnya saya akan bertatap muka dan
belajar dengan dosen pembimbing akademik saya.
Selasa, siang hari. Perkuliahan dimulai
dalam metode diskusi kelompok. Jujur, awalnya saya tidak berminat dan berpikir
bahwa Ibu tidak peduli dengan apa yang saya lakukan dibelakang. Ternyata saya
salah. Ibu menegur saya dan kelompok saya, spontan saya tidak lagi berani untuk
mengacuhkan Ibu.
Penjelasan-penjelasan mulai disampaikan,
latihan-latihan mulai diberikan. Semua gerak diawasi, semua kemapuan diuji. Pekerjaan
rumah, quiz, latihan, keberanian untuk unjuk diri, semua diamati, semua
dinilai. Dan saya rasa, penilaian seperti ini cukup adil. Cukup memotivasi saya
untuk berusaha yang terbaik walaupun terkadang hasilnya belum baik.
Semakin lama, saya semakin menyadari. Dalam
lelah yang menggelayut angkuh ditubuh dan pikiran Ibu, Ibu berusaha bertanggung
jawab dengan profesi Ibu. Tetap mengajar kami dengan semaksimal mungkin. Terima
kasih Ibu, tetaplah seperti ini.
Esok hari di semester VI jika kita
bertemu lagi, mari kita cipta hal-hal yang luar biasa, Ibu.
Tik…Tok..
Ah, ternyata malam semakin larut, dan
kantuk pun kian mengutuk. Saya rasa sudah waktunya menyudahi surat ini.
Terima kasih Ibu, untuk semuanya. Dan juga,
untuk mau membaca hingga pada kalimat ini.
Mohon maaf dengan sangat, jika surat ini
tidak berkenan di hati Ibu.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Kepada yang terhormat,
Ibu Mardiati S.si
With Love,
Yuli Aswita Ginting
PM VI C
Diposting oleh Yully Aswita di 00.52 0 komentar
Surat untuk ...
Sabtu, 08 Februari 2014
Aku selalu berusaha memahami
semua keadaan ini.
Selalu berusaha berdamai dengan
kenyataan ini.
Selalu berusaha menyelami setiap
kesedihan yang menyelimuti, sambil sesekali aku berharap mengerti, lalu bisa
menjadi penawar sesekali.
Aku selalu berusaha memahami
peluhmu,
Selalu berusaha untuk tidak terus
membebanimu.
Selalu berusaha mencoba mengerti,
memahami bahwa bebanmu sangat berat dan tak perlu ditambah lagi.
Terkadang, aku merasa dicurangi.
Terkdang, aku merasa kebebasan
dirampas begitu saja.
Bukan, bukan aku tidak ikhlas
menjalani semua ini.
Hanya saja, aku juga manusia
biasa yang punya lelah. Aku juga manusia biasa yang punya rasa iri.
Kadang rasanya, kenyataan
menggores hatiku bertubi-tubi menyisakan luka yang pelan-pelan menggerogoti,
sekarat dan hampir mati.
Ada saat dimana aku benar-benar
jenuh.
Ada saat dimana aku benar-benar
muak.
Ada saat dimana ingin sekali aku
berbagi peluh, sembari berkata “aku jenuh dengan semua ini”. Tapi, aku hanya
manusia paling egois jika sampai hati mengatakannya.
Aku tau engkau jauh-jauh lebih
jenuh dari aku.
Aku tau engkau jauh-jauh lebih
lelah dari aku.
Setiap perih yang seharusnya kita
hadapi, kita bagi, kenyataannya hanya ditanggung
sendiri-sendiri. Perih.
Diposting oleh Yully Aswita di 21.58 0 komentar
Persembahan 23
Jumat, 24 Januari 2014
Shadow of us ♡ |
Cuma ini yang aku punya, bukti nyata ketika rasa mengabu, ragu-ragu dan abu.
Entah
rasamu, aku tak tahu.
Tapi
setidaknya, terima kasih telah bantu membunuh rindu. :)
Diposting oleh Yully Aswita di 11.18 0 komentar
Langganan:
Postingan
(
Atom
)