Selagi Kau Lelap
Dee Lestari
Sekarang pukul 01.30
pagi di tempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung
bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur
terlungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai,
apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal?
Aku selalu ingin
mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin
masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.
Sudah hampir tiga tahun
aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh
empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya
kau akan dapatkan angka ini: 4.354.560.000
Itulah angka milisekon
sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau
ditarik sampai skala nano. Silahkan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada
di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi…
Penunjuk waktuku tak
perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus
moralitas. Rolex tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan
ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang
menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi
adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu
merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.
Sekarang pukul 02.30 di
tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku di sini. Menyumbang lagi 216.000
milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan
bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di belakangnya. Tapi
engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di
tengah-tengah. Sensasi Ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.
Aku tak pernah terlalu
tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada di situ. Entah siapa. Mungkin
Cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru
mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing
dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling… sudah. Stop.
Aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkannya saja ngeri. Apa rasanya dipeluk
dan didekap tanpa pretensi? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah
jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagai mengitari Gunung Sinai. Tak
diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai Tanah
Perjanjian.
Kini, izinkan aku
tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau
ada di sana, tidak terbangung karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.
Begitu banyak yang
ingin ku bicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir,
adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang… tak ada
yang tak bisa kita lakukan, bukan? Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin
mimpi tidur disebelahmu. Ada tanganku dibawah bantal, tempat jemarimu
menggapai-gapai.
Tidurku meringkuk di
sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku di sana. Rambutku yang
berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.
Tiada yang lebih indah
dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi
bermentega, dan mulut asam… mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa ‘selamat
pagi’.