Aku tidak pernah paham apa alasannya sehingga bagiku dia sangat memesona.
Seperti magnet, sedang aku hanya besi dengan berat ringan, mudah saja untuk
tertarik. Aku masih tak bisa menemukan jawaban, kenapa aku masih bisa terpesona
padahal hati terus terluka?
Aku lelah menyatukan hati dan logika. Hati selalu “Iya”, tapi otakku, “tidak,
jangan, nanti menyesal”. Untuk kesakitan yang kesekian kali, aku memilih otak,
memilih logika.
Mengenyampingkan segala perasaan ternyata bukan hal yang mudah. Melawan arus
hati ternyata butuh ketidakpekaan tingkat tinggi. Mengabaikan segala perasaan
ternyata melelahkan. Ada saatnya semua terabaikan, tapi juga ada saatnya
perasaan datang memelukmu, hangat, erat, semakin erat hingga sesak, nafasmu
tercekat, dan bulir air mata yang jatuh menjadi wujud perasaan yang selalu kau
coba abaikan.
Hati dengan pilihan orang yang sama, namun logika tak pernah menerima…